Rabu, 17 April 2013

Ilmu Budaya Dasar


Nama  : Yunyun Sundawan
NPM  : 1A111279
Kelas  : 1KA17 


Manusia dan Tanggung Jawab

"Jangan Saling Menyalahkan dalam Kerja Kelompok"



Salah satu indikator organisasi yang sehat adalah bila di dalamnya terdapat individu-individu yang bersemangat. Kita bisa menyaksikan seseorang yang bekerja melampaui jam kerja yang standar dan masih penasaran menyelesaikan pekerjaaannya sampai larut malam. Para office boy sekalipun bisa terlihat bergerak ke sana kemari, namun tetap tidak lupa memerhatikan apa yang dibutuhkan setiap karyawan yang dilayaninya.
Sebaliknya, kita juga tahu bahwa ada lingkungan kerja di mana mindset  “apa untungnya buat saya?” sangat kencang, dan selalu terjadi hitung-hitungan untung-rugi yang ketat antara karyawan dan perusahaan. Banyak perusahaan yang merasa perlu mengikat karyawan dengan berbagai kontrak agar dana yang digunakan untuk mengembangkan karyawan tidak sia-sia.
Padahal, kita sangat yakin bahwa  bila "hati" tidak berada di pekerjaan, kita dengan mudah "tidak berada" di pekerjaaan kita. Secara fisik, individu bisa jadi tetap ada di depan komputernya, namun yang dikerjakan bisa saja chatting seharian dengan teman, bahkan sibuk berbelanja online. Kita lihat betapa semangat karyawan di dalam sebuah organisasi menjadi misteri yang benar-benar perlu dipecahkan.

Menciptakan suasana produktif dan kondusif sama halnya dengan mempersiapkan tanah untuk menanam benih. Tanah yang liat, keras, dan padat, bila ditanami benih, paling-paling hanya bisa sampai memunculkan tunas, namun kemudian tidak bisa menghasilkan tanaman yang bermutu, bila dibandingkan dengan tanah yang sudah gembur, digarap, dicampur dengan kompos dan pupuk. Organisasi pun perlu memikirkan bagaimana membuat wadah yang nyaman untuk bekerja, berkarya dan berinovasi.
"Empowerment" perlu menjadi agenda penting dalam membina karyawan, karena kita tahu individu baru akan mengeluarkan isi pikirannya bila ia secara emosional dan spiritual merasa happy, diterima dan didukung. Kita pun tidak boleh lupa betapa generasi milenial yang kreatif dan pintar, merasa bahwa motivasi adalah hal yang terpenting dalam bekerja.
Pada saat bisnis sangat memerlukan konsentrasi, kita kerap melihat empowerment bawahan sering kita lupakan. Padahal, dengan adanya karyawan yang penuh percaya diri dan feel good terhadap pekerjaan, kita akan diuntungkan oleh sikap responsif, inovasi, dan kemampuan belajar yang lebih canggih.

Rasa sukses sebagai penyemangat
Kita bisa melihat banyak tantangan yang dihadapi Jokowi-Ahok untuk mengubah mental dan etos kerja institusinya. Namun, suasana kondusif yang kita idam-idamkan, di mana percaya diri dan rasa kompeten karyawan dirasakan setiap individu, bukanlah hal yang mustahil. Keyakinan, visi yang jernih, dan sasaran yang jelas tentu merupakan langkah awal yang baik.
Agar rasa percaya diri dan rasa kompeten ini semakin subur, seorang atasan mesti bisa memainkan beragam peran, mulai dari trainer, coach, dan mentor bagi anak buah. Atasan juga perlu membiasakan diri agar dalam setiap instruksi dan tugas yang ia berikan terselip pesan-pesan pembelajaran pada bawahannya. Individu pasti akan tergerak bila ia tahu apa yang bisa ia pelajari, mengapa ia harus mengetahui esensi tugasnya. Dengan memberi cukup informasi, mendemonstrasikan cara melakukan pekerjaan, memberi kesempatan untuk mempraktekkan dan mengoreksi kesalahan, individu tentu akan merasa didorong untuk sukses.
Performance yang sukses inilah yang akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri. Bila setiap individu dalam organisasi meyakini bahwa upayanya berdampak signifikan terhadap divisi, instansi, bahkan lingkungan, ia akan menyuburkan rasa positif mengenai dirinya, pekerjaan, dan tugasnya.

Menciptakan empowerment dalam organisasi menyangkut self concept, self esteem, dan self talk individu. Inidividu perlu merasa berharga, berguna, mempunyai pandangan positif mengenai karier, tugas dan pekerjaannya, dan selalu mempunyai ungkapan-ungkapan yang positif dalam self dialogue-nya.

Tanggung jawab pengambilan keputusan
Di sebuah perusahaan, seorang salesman potensial namun tergolong masih junior ditunjuk untuk mengikuti pertemuan industri sejenis di luar negeri. Ia kemudian datang ke atasannya dan mengatakan bahwa ia sebaiknya tidak diikutkan dalam tim, karena belum menguasai bisnis dibanding dengan rekan kerja lainnya yang sudah hafal mengenai kasus-kasus transaksi di perusahaan. Padahal, sebetulnya ia bisa dengan mudah ikut dalam rombongan, sekadar menikmati perjalanan dinas yang belum pernah dialaminya. Namun, hal ini tidak dilakukan, karena ia merasa punya tanggung jawab untuk memberi kontribusi penting dalam setiap penugasannya.
Inilah yang membedakan individu yang empowered dan yang tidak. Individu yang empowered mampu mengambil keputusan atas dirinya, dan take charge terhadap nasib kariernya sendiri.

Kita sendiri pun mungkin sering menggunakan ungkapan “serahkan pada ahlinya”, dan tidak menyadari bahwa sikap ini bisa menjadikan individu seolah menghindar dari pengambilan keputusan dan mengambil jarak terhadap suatu permasalahan. Akibatnya, individu terbiasa bersikap indecisive, tidak bisa mengambil keputusan di dalam area wewenangnya. Bahkan, yang lebih parah lagi, tidak mengambil keputusan atas diri dan nasibnya sendiri. Padahal, kita tahu bahwa individu sendirilah yang perlu memainkan peran aktif dalam menentukan masa depannya, menggapai cita-cita dan mimpinya, bukan perusahaan.
Dalam konteks kerja, kita melihat ini sebagai blind acceptance of authority, yaitu kondisi di mana individu tidak terbiasa mempunyai gambaran dan melihat dirinya sendiri secara jelas. Bila berlarut-larut, hal ini bisa berkembang dan mempengaruhi struktur power di organisasi.

Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa individu dibesarkan dengan cara yang berbeda-beda. Ada anak yang sudah diberi pilihan sejak kecil, tetapi ada juga anak yang pilihan hidupnya dibuatkan oleh orangtua. Alhasil, dalam organisasi kita akan menemukan individu yang bervariasi, dari mempunyai kapasitas self growth besar dan kecil.
Jadi, bisakah kita menciptakan empowerment di organisasi? Yang jelas, menciptakan suasana penuh inisiatif dan berspirit ini bukan suatu proses membalik tangan. Ini sama dengan kenyataan bahwa kita tidak bisa mengubah budaya korporasi dengan satu program saja. Menciptakan suasana penuh empowerment adalah proses yang dinamis, panjang, dan menyentuh area "bawah sadar" individu.

(Kompas.com, Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar